“Kebahagiaan itu
sederhana” – Generasi
90an
Itulah sebuah kalimat
yang saya dapatkan sehabis membaca salah satu buku yang sedang rame – ramenya
sekarang. Banyak memori kembali teringat sepanjang saya membaca buku tersebut,
tentang betapa bahagianya dulu ketika melewati masa 90an, dan tentunya banyak
pula cerita yang masih asik untuk diceritakan di masa – masa sekarang.
Diantara berbagai
memori yang muncul, teringat sebuah kenangan paling kuat yaitu disaat Ramadhan
dan Lebaran Ramadhan 1419 H. Sekitar tahun 1998, saya masih sekolah dijenjang
sekolah menengah pertama kelas 1. Tahun ke 3 saya mencoba berpuasa full dari
subuh sampai magrib.
Satu malam sehabis
salat magrib sebelum Ramadhan tiba, hampir semua anak – anak seumuran saya
sudah berkumpul disekitaran masjid untuk melaksanakan Salat Sunat Tarawih yang
pertama. Semuanya terlihat begitu antusias walaupun sebenarnya kita tidak
pernah tau tentang keutamaan dan apa itu salat Tarawih. Dalam pikiran kita
semua hanya tertaman Tarawih adalah waktu berkumpul sambil bermain dimalam
hari, sebab pada bulan biasanya batas kita bermain hanya sampai adzan magrib
berkumandang.
Sepanjang melaksanakan
salat Isya semua anak terlihat khusuk menjalankannya. Namun, selepas itu
barulah kebahagian versi kita, dimulai. Masih teringat jelas ketika rakaat
pertama salat Tarawih malam itu, salah seorang teman saya berbuat iseng. Karena
ayahnya bernama “amin”, disaat Imam selesai membacakan surat Al-fatihah, teman
saya tersebut langsung mendahului dengan berteriak “BAPAAAKKU”.
Selain itu, ada juga
ditengah – tengah salat Tarawih, salah seorang teman sengaja menambahkan kata
“rais” disaat imam selesai membaca Al – fatihah, Sehingga kata yang seharusnya
“Amin” terdengar menjadi “Aminnnn…rais”. Serentak semua jamaah tertawa meskipun
diantaranya masih ada beberapa yang menggeleng - gelengkan kepala.
Ada juga kejahilan lain
yang dilakukan oleh teman saya yang lain, ketika selesai sujud pertama, tangan
sebelah kirinya sengaja memegang sarung teman saya lainnya, dan saat bangkit
dari sujud kedua ketika akan berdiri, sekuat tenaga dia tarik sarungnya hingga
melorot. Kembali semuanya tertawa terbahak – bahak karena teman saya hanya
mengenakan celana dalam saja seperti halnya bapak – bapak.
Dan kekompakan itu pun tidak
terjadi dalam tarawih saja, Selepas adzan ashar berkumandang, sekitar 10 hingga
15 anak sudah berkumpul disebuah lapang dimana disana banyak berbagai pohon
tumbuh ada Mangga, Jambu, Markisa dan pohon jambu merupakan primadona kala itu
karena sedang berduah. Ada peraturan lucu yang sengaja kita buat yaitu yang
pertama datang berhak memilih pohon mana yang mau dia naiki yang terakhir
datang tidak punya kesempatan untuk menaiki pohon yang ada disana. Dan jika
kalian tau, Ngabuburit diatas pohon itu membuat kita lupa akan waktu, semilir
angina yang meniup serta rindangnya daun membuat kita betah hingga adzan magrib
datang.
Saking menyenangkannya
Ramadhan dulu, tanpa terasa 30 hari berlalu cepat. Ada rasa sedih yang saya dan
kita rasakan. Sedih karena mungkin berbagai kebahagiaan ketika ramadhan tidak
bisa dilakukan lagi seperti bercanda saat tarawih, Ngabuburit bareng dan jam
waktu malam pun mulai ditiadakan oleh orang – orang tua kita.
Lebaran saat itu pun
tiba, dan satu hal yang paling ditunggu ketika lebaran adalah memenuhi isi
dompet. Karena dulu kakek masih ada, jadi saat lebaran pasti rumah saya
dijadikan tempat untuk Open House, artinya tempat berkumpul semua keluarga.
Mulai dari keluarga paling jauh hingga terdekat. Dan biasanya, saudara –
saudara selalu memberikan uang pada anak – anak kecil jenjang pendidikan TK
sampai SMP. Selain dompat yang terisi penuh oleh uang pemberian saudara, saya
merasa ada kehangatan dirumah setiap lebaran tiba. Orang tua yang bercanda
dengan versi mereka, Bertemu dengan saudara – saudara seumuran dan berbagai
jenis makanan ada dirumah.
Namun, sekarang kakek
saya sudah tiada hingga setiap lebaran tiba hanya sebagian keluarga yang
berkunjung kerumah. Banyak yang berubah
dimasa dulu dan sekarang dalam melaksanakan Ramadhan dan Tarawih. Sekarang
dimana orang – orang sibuk memainkan smartphonenya, lebih antusias mengupdate
status dibanding ngobrol secara langsung dengan orang. Dan pohon – pohon yang
dulu berjejer tegak dilapang telah hilang berganti rumah – rumah yang berdiri.
Memang benar apa yang
ditulis dalam buku generasi 90-an. Bahagia itu sederhana. Sesederhana tertawa ketika
tarawih sewaktu kecil dulu, Sesederhana naik pohon bersama, sesederhana memenuhi isi dompet kala
lebaran tiba dan sesederhana pikiran kita agar bisa tetap bahagia.
mau yang lebih menyenangkan, klik aja disini
mau yang lebih menyenangkan, klik aja disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar